Jumat, 05 Maret 2010

Jawa Timur

Masyarakat Jawa Timur

Budaya dan adat istiadat
Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman; menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Daerah tersebut meliputi eks-Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), eks-Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek) dan sebagian Bojonegoro. Seperti halnya di Jawa Tengah, wayang kulit dan ketoprak cukup populer di kawasan ini.

Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuknya dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini.

Di kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang) dan Malang, memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman, mengingat kawasan ini cukup jauh dari pusat kebudayaan Jawa: Surakarta dan Yogyakarta.

Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura, mengingat besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini. Adat istiadat masyarakat Osing merupakan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali. Sementara adat istiadat Suku Tengger banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu.

Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain: tingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan.


Arsitektur
Bentuk bangunan Jawa Timur bagian barat (seperti di Ngawi, Madiun, Magetan, dan Ponorogo) umumnya mirip dengan bentuk bangunan Jawa Tengahan (Surakarta). Bangunan khas Jawa Timur umumnya memiliki bentuk joglo, bentuk limasan (dara gepak), bentuk srontongan (empyak setangkep).

Masa kolonialisme Hindia-Belanda juga meninggalkan sejumlah bangunan kuno. Kota-kota di Jawa Timur banyak terdapat bangunan yang didirikan pada era kolonial, terutama di Surabaya dan Malang.


Kepercayaan
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi yang menganut agama Protestan dan Katolik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.


Rumah
Masyarakat Jawa dengan faham jawanya (“kejawen”) sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan primitif, yang memilki sifat-sifat khusus, seperti: mempertahankan suasana hidup selaras (harmonis) dengan lingkungan kehidupan disekitarnya, yang meliputi: keselarasan hubungan antara manusia dan sesamanya (hubungan antara “kawulo” dan “gusti”), serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam disekitarnya (hubungan antara “microcosmos” dan “macrocosmos”). Kebutuhan hidup manusia Jawa, dapat disederhanakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: “pangan”, “sandang” dan “papan”.Adapun makna kebutuhan pangan bagi masyarakat Jawa disatu sisi adalah tuntutan akan fisik, sedangkan disisi lain, adalah tuntutan metafisik, seperti: spiritual, rohaniah dan simbolik. Selanjutnya orang Jawa membutuhkan sandang untuk memberikan pengamanan kejiwaan (rasa) dan melindungi diri dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan alamiah maupun sosial. Sedangkan kebutuhan akan “papan”, bagi orang Jawa diartikan sebagai kebutuhan akan: “longkangan” (ruang), “panggonan” (tempat untuk menjalani kehidupan), “panepen” (tempat kediaman /”settle -ment”) dan “palungguhan” (tempat duduk/berinteraksi). Selain itu rumah juga mempunyai arti sebagai perlambang bahwa dirinya telah berhasil dalam kehidupan di dunia atau telah mantap kedudukan sosial ekonominya.

Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2 pendekatan yaitu :

1. Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan sendiri
2. Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan.

Bentuk rumah tradisional jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan bentuk. Secara garis besar tempat tinggal orang jawa dapat dibedakan menjadi:
1. Rumah Bentuk Joglo
2. Rumah Bentuk Limasan
3. Rumah bentuk Kampung
4. Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub
5. Rumah bentuk panggang Pe








Bangunan Tradisional Joglo.

Ciri khas atap joglo, dapat dilihat dari bentuk atapnya yang merupakan perpaduan antara dua buah bidang atap segi tiga dengan dua buah bidang atap trapesium, yang masing-masing mempunyai sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar. Atap joglo selalu terletak di tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan antara atap ini ada dua macam, yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang Gantung. Atap Joglo Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap Serambi disambung secara menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin dan cahaya. Menurut Dakung (1987) terdapat beberapa variasi bentuk bangunan
Joglo diantaranya adalah:
(1). Joglo Lawakan,
(2). Joglo Sinom,
(3). Joglo Jompongan,
(4). Joglo Pangrawit,
(5). Joglo Mangkurat,
(6). Joglo Hageng dan
(7). Joglo Semar Tinandhu.
Joglo Limasan, Joglo Semar Tinandhu, Joglo
Sinom, Joglo Jompongan dan Joglo Pangrawit banyak dipakai rakyat biasa, sedangkan Joglo Mangkurat, Joglo Hageng dan Joglo Semar Tinandhu banyak dipakai kaum bangsawan, maupun abdi dalem keratin (pegawai keraton).


Joglo Semar Tinandhu.




Joglo Semar Tinandu (semar diusung/semar dipikul) diilhami dari bentuk tandu. Joglo ini biasanya digunakan untuk regol atau gerbang kerajaan, dengan ciri- ciri :
* Denah berbentuk persegi panjang
* Pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya. Diatas bebatur dipasang umpak yang sudah diberi purus wedokan, umpak ini nantinya akan disambung dengan tiang saka.
* Memakai 2 saka guru sebagai tiang utama yang menyangga atap brunjung dan 8 saka pananggap yang berfungsi sebagai penyangga yang berada diluar saka guru. Bagian bawah tiap saka diberi purus lanang untuk disambung ke purus wedokan dan diperkuat dengan umpak
* Terdapat 2 pengeret sebagai penyangga balok tandu
* Memiliki tumpang 3 tingkat yang ditopang balok tandu
* Atapnya memiliki 4 jenis empyak yaitu; empyak brunjung, empyak cocor pada bagian atas dan empyak penanggap serta empyak penangkur dibagian bawah.
* Pada atap terdapat molo
* Menggunakan usuk rigereh, usuk yang pada bagian atas bersandar pada dudur sedangkan bagian bawah bertumpu pada balok pengeret dan dipasang tegak lurus.
* Biasanya digunakan untuk regol ( pintu masuk)
Karena tiang utama/saka guru pada joglo ini tergantikan oleh tembok sambungan, maka ruang di bawah atap yang lebih tinggi mempunyai besaran ruang sebatas di besaran uleng saja. Udara yang ada masih terpengaruh udara luar, namun terasa lebih sejuk karena ada kemiringan atap yang memberikan perbedaan udara antara ruang luar dengan ruang di dalam joglo.












Pada joglo semar tinandu ini udara bergerak secara lurus melalui celah diantara dua tembok sambungan. Pergerakan udara terjadi secara leluasa, langsung pada bagian tengah joglo ini, karena tidak terhalang oleh tembok, namun pada bagian samping kanan dan kiri, udara tidak bisa mengalir ke sisi sebelahnya, karena terhalang oleh tembok sambungan yang sampai ke puncak joglo. Udaara kembali bergerak ke bawah melewati celah menuju ruang di sebelah tembok sambungan, dan mengalir ke berbagai arah.



Joglo Lambang Sari




Joglo Lambangsari merupakan joglo dengan sistem konstruksi atap menerus. Bentuk ini paling banyak dipakai pada bangunan tradisional jawa.

Bentuk joglo yang menggunakan lambangsari, dengan ciri- ciri :
* Bentuk denah persegi panjang
* Memakai pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya. Diatas bebatur ini dipasang umpak yang sudah diberi purus wedokan.
* Terdapat 4 saka guru sebagai penahan atap brunjung yang membentuk ruang pamidangan yang merupakan ruang pusat dan 12 saka pananggap yang menyangga atap pananggap (tiang pengikut), masing-masing saka ditopang oleh umpak menggunakan sistem purus
* Memakai blandar, pengeret, sunduk, serta kilil. masing- masing blandar dan pengeret dilengkapi dengan sunduk dan kili sebagai stabilisator.
* Menggunakan tumpang dengan 5 tingkat. Balok pertama disebut pananggap, balok ke dua disebut tumpang, balok ke tiga dan empat disebut tumpangsari, dan balok terakhir merupakan tutup kepuh yang berfungsi sebagai balok tumpuan ujung- ujung usuk atap.
* Uleng/ruang yang terbentuk oleh balok tumpang di bawah atap ada 2 (uleng ganda)
* Terdapat godhegan sebagai stabilisator yang biasanya berbentuk ragam hias ular-ularan.
* Menggunakan atap sistem empyak. 4 sistem empyak yang digunakan : brunjung dan cocor pada bagian atas, serta pananggap dan penangkur di bagian bawah
* Terdapat balok molo pada bagian paling atas yang diikat oleh kecer dan dudur.
* Menggunakan usuk peniyung yaitu usuk yang dipasang miring atau memusat ke molo. Joglo ini juga tidak memiliki emper












penghawaan pada rumah joglo ini dirancang dengan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. rumah joglo, yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri. Saat manusia berada pada rumah joglo paling pinggir, sebagai perbatasan antara ruang luar dengan ruang dalam, manusia masih merasakan hawa udara dari luar, namun saat manusia bergerak semakin ke tengah, udara yang dirasakan semakin sejuk, hal ini dikarenakan volume ruang di bawah atap, semakin ke tengah semakin besar. Seperti teori yang ada pada fisika bangunan,

Efek volume sebenarnya memanfaatkan prinsip bahwa volume udara yang lebih besar akan menjadi panas lebih lama apabila dibandingkan dengan volume udara yang kecil.

Saat manusia kembali ingin keluar, udara yang terasa kembali mengalami perubahan, dari udara sejuk menuju udara yang terasa diluar ruangan. Dapat dilihat kalau penghawaan pada rumah joglo, memperhatikan penyesuaian tubuh manusia pada cuaca disekitarnya.




Sistem penghawaan pada joglo lambangsari ini, seperti pada sistem penghawaan joglo pada umumnya, angin/udara bergerak sejajar, di seluruh ruang terbuka, pada bagian ruang bagian tengah, yang dibatasi tiang utama/saka guru, udara bergerak ke atas, namun kembali bergerak ke bawah. Hal ini terjadi karena joglo lambangsari tidak memiliki lubang ventilasi, karena memang di desain untuk atap menerus.


Sistim Struktur
Sistim struktur bangunan Joglo, menurut Saragih (1983) 14) dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu:
(1). Sistim Struktur Rangka Utama dan
(2). Sistim Struktur Rangka “Pengarak” (Pengikut).
Sistim Rangka Utama Bangunan Joglo terdiri atas tiga bagian, yaitu: “Brunjung”, “Soko Guru” dan “Umpak”.





Pondasi
Pondasi atau “umpak” yang ditinggikan 70cm menggunakan cor beton dan difinish dengan batu wonosari dimaksudkan sebagai cermin bangunan ini berasal. Ciri khas dari pondasi ini adalah tampilan dan posisi pondasi yang berada diatas tanah bukan berada di dalam tanah. Pondasi ini dapat terlihat dengan mata telanjang.








Gebyong
Gebyog merupakan dinding rumah yg terbuat dari kayu. Gebyog memberikan rasa sejuk disiang hari , dan hangat di malam hari. Gebyog yang di gunakan untuk Omah Limasan ( dalem) dibuat dengan motif ukiran Kudus, buatan baru dari kayu tua/lama. Kerangka Gebyog menyatu dengan konstruksi bangunan.






Motif Ukir






Tiang
Rumah Joglo mempunyai 16 buah tiang atau kolom sebagai penopang konstruksi atap yang terdiri dari 4 buah “saka guru” dengan masing masing tiang berukuran (15cm x 15cm) dan 12 buah tiang emper masing-masing berukuran (11cm x 11cm), serta mempunyai 5 buah “Blandar Tumpang Sari” lengkap dengan “kendhit”atau “koloran” yang berfungsi sebagai balok penyiku konstruksi utama bangunan tersebut. Keseluruhan bangunan asli menggunakan material struktur kayu jati dan mempunyai ukuran 8,4 m x 7,6 m.



Masing-masing tiang memiliki nama sesuai dengan letaknya pada bangunan tersebut. Satu atau beberapa tiang yang menyokong atap yang paling tinggi disebut soko guru, tiang yang letaknya lebih luar dari soko guru adalah soko rowo, sedangkan tiang yang menyokong atap bagian paling luar disebut soko emper.

Selain itu, ada beberapa tiang yang digunakan untuk jenis bangunan beratap joglo yang lainnya, yaitu soko bentung, yang letaknya menggantung di antara bagian atap paling atas dengan atap di bawahnya. Sementara itu, soko santen adalah tiang yang tidak langsung menyokong atap, tapi menyokong gelagar panjang pada bangunan besar beratap joglo.


Atap
Atap berbentuk joglo banyak menggunakan material kayu, mulai dari kayu polos sampai kayu yang penuh ornamen. Hal ini mengakibatkan beban yang harus disalurkan untuk sampai ke tanah oleh masing-masing soko cukup berat. Sebenarnya beban yang dipikul oleh soko dapat dihitung, yaitu dengan cara mengetahui luas area penutup atap yang disokong oleh masing-masing soko. Luas area tersebut kemudian dikalikan dengan beban atap per meter persegi, sehingga didapat beban atap yang harus dipikul oleh masing-masing soko atau tiang. Akibatnya, jumlah beban yang disalurkan oleh soko tersebut harus lebih kecil dibandingkan dengan tegangan tanah per sentimeter persegi. Bila beban yang disalurkan oleh soko lebih besar dari tegangan tanah, maka pondasi akan melesak.
Rangka Atap Joglo dibentuk oleh beberapa elemen bangunan, yaitu: (1). Reng, (2). Usuk, (3). “Molo”, (4). “Ander”, (5). “Dudur” dan (6). “Blandar”. Sedangkan Tumpang Sari adalah balok-balok yang disusun dengan teknik tumpang, dan berfungsi untuk mendukung berat atap. Tumpang Sari dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: Bagian sayap (“elar”) dan Bagian dalam (“ulen”).

Elemen Rumah Gadang


Tangga dan Sandi


Sandi

Setiap kaki tonggak berdiri diatas sebuah batu yang disebut dengan sandi. Sandi batu didatangkan kemudian setelah semua tiang dihubungkan oleh rasuk dan paran-paran. Paran, ialah sebuah kayu atau ruyung panjang dari pohon kelapa yang menghubungkan setiap tiang pada ujung atas. Sama dengan rasuk. Ada yang disebut paran panjang dan paran melintang. Punco-punco tiang yang dihubungkan oleh paran panjang tidak pula sama tingginya hingga terlihat lengkungnya atau disebut paran ular mangulai (mengulai). Lengkung paran inilah yang akan membentuk gonjong (pucuk atap).

Tangga

Tangga pada sebuah rumah gadang terbuat dari bahan material kayu dan biasanya diawali dengan sebuah batu alam datar, jumlah anak tangga pada rumah gadang berjumlah ganjil misalnya 5,7, dan 9.


Denah Rumah Gadang










Keterangan Gambar:

A: Rumah Gadang

B: Deretan Rangkiang (Lumbung)

C: Lesung

D: Limau Manih Sandaran Alu

E: Kemuniang Hutan Kudo

F: Tebat Ikan

G: Tepian Tempat Mandi

H: Kebun Bunga

1. Anjung Kiri (Ujung)

2. Anjung Kanan (Pangka)

3. Jenjang

4. Sitinjau Lauik

5. Sibayau-Bayau

6. Sitangka Lapa

7. Jalan Masuk

8. Jalan Besar

9. Puding Perak Paga di Luar

10. Puding Emas Paga di Dalam

11. Jalan Kecil Ketapian Mandi

12. Halaman Pakai Pasir Halus

13. Kepuak Gadang

14. Kapuak Ketek

15. Batu Tapakan



Susunan Ruang





Ruangan dalam Rumah Gadang diba

gi atas beberapa bagian yaitu didieh yang menghadap ke depan atau bagian depan yang merupakan ruang terbuka, dan didieh yang arah ke dalam disebut Bandua digunakan

sebagai Biliek (kamar tidur), dan di tengahnya sebagai tempat sirkulasi keluar masuk (Syamsidar, 1991).


Sirkulasi










siklus kehidupan wanita dalam Rumah Gadang


Lantai

Lantai terbuat dari papan. Ke ujung kiri kanan dari lantai ditinggikan satu tingkat atau dua tingkat dinamakan anjung. Bila Rumah Gadang tidak beranjang maka lantai yang sebelah kedua ujungnya juga tinggi merupakan lantai perahu



Tiang

Tiang Rumah Gadang berbentuk dasar bulat yang dibu

at bersegi-segi. Tidak ada tiang rumah Gadang yang terbuat dari kayu bulat. Tiang merupakan bagian penting dari bangunan. Segi-segi dari tiang tidak sama besarnya. Tiang yang besar terdapat pada tengah bangunan. Tiang yang berada di tengah bangunan dibuat bersegi 8 sedangkan yang terletak di samping

bersegi 5. Tiang-tiang ini banyak fungsinya, yang m

ana tiap nama menunjukkan fungsinya yaitu tiang: tepi, temban, tengah, dalam panjang, salek, dapur, yang kesemuanya diberi ukiran yang sesuai menurut fungsinya (Syam

sidar, 1991).






Letak tiang-tiang dalam Rumah Gadang



Tiang

Antara dua deretan tiang-tiang yang dikasarkan merupakan satu ruangan. Jumlah seluruh tiang-tiang badan istana adalah 10 x 5 = 50 buah dengan 9 ruangan. Jumlah tiang-tiang anjung masing-masing adalah 9 buah yang terdiri dari dua ruangan. Jadi jumlah seluruh tiang anjung kiri kanan adalah 18 buah. Rumah untuk tangga mempunyai tiang yang agak kecil 4 buah. Jadi jumlah seluruh tiang-tiang istana adalah 50+18+4 buah=72 buah tiang besar kecil (Syamsidar, 1991).


Dinding

Dinding pada rumah gadang terdiri atas 3 bagian:

1. Dinding depan

2. Dinding sasak, dan

3. Dinding samping

Secara umum dinding pada rumah gadang tersebut terbuat dari anyaman bambu yang diikat oleh papan - papan sebagai tulangannya.



Atap

Rumah Gadang biasa disebut Rumah Gonjong atau Rumah Bagonjong, karena atapnya berbentuk bergonjong runcing menjulang, adalah nama yang membedakan dengan rumah biasa. Lengkungan pada atapnya tajam seperti garis tanduk kerbau, sedangkan lengkung pada badan rumah landai seperti badan kapal (Syamsidar, 1991).

Gonjong adalah bagian yang paling tinggi dari setiap ujung atap yang menghadap ke atas, dan merupakan ujung turang yang dibalut dengan timah yang berbentuk:

• 2 labu-labu di bagian bawah

• 1 kelimbing di atas labu-labu

• 1 anting-anting di atas belimbing

• 1 ujung yang tajam di atas anting-anting




bagian atap

Antara labu-labu, belimbing dan anting-anting ada peraturan yang searah dengan ujung yang paling atas. Kombinasi bentuk gonjong inilah yang seperti ujung tanduk kerbau jantan, dan dinamakan ‘isendak langit’. Turang adalah bagian di bawah gonjong sampai ke batas garis lurus bubungan atas kepemimpinan. Turang ini adalah tempat penahan gonjong. Kombinasi bentuk turang dengan gonjong itulah yang berbentuk ‘Rabuang mambacuik’. Keseluruhannya (antara Turang dan Gonjong) disebut Gonjong saja.

Atap terbuat dari ijuk. Saga ijuk diatur susunannya dengan nama Labah Mangirok atau Labah Maraok dan Bada Mudiak. Bubungan seperti legkungan sayap burung burak akan terbang. Lengkungan bubungan terletak antara dua gonjong yang ditengah. Gonjongnya seperti rebung yang mula keluar dari tanah. Pucuk gonjong mencuat ke atas (Syamsidar, 1991).

Kamis, 04 Maret 2010

Rumah Gadang

ARSITEKTUR NUSANTARA MINANGKABAU ARSITEKTUR NUSANTARA MINANGKABAU
Masyarakat Minangkabau berlokasi di Sumatra Barat, sebagian daerah pesisir Barat Sumatra Utara, sebagian daerah propinsi Riau bagian barat, dan sebagian daerah propinsi Jambi bagian Selatan Barat. Dari cakupan wilayah yang didiami oleh Bangsa Minangkabau tersebut, bisa dikatakan bahwa Bangsa Minangkabau menempati wilayah yang luas dan menyebar dari daratan sampai ke pesisir. Tapi asal Bangsa Minangkabau adalah dari daratan. Karena itulah maka Arsitektur Nusantara Minangkabau bisa dikatakan sebagai arsitektur nusantara daratan.
Rumah tempat tinggal Minangkabau disebut sebagai Rumah Gadang (Rumah Besar/Rumah Buranjang). Dikatakan Gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar melainkan karena fungsinya selain sebagai tempat kediaman keluarga, Rumah Gadang merupakan perlambang kehadiran satu kaum dalam satu nagari1, serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat bermufakat keluarga kaum dan melaksanakan upacara. Bahkan sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.
Mendirikan Rumah Gadang
Rumah gadang didirikan diatas tanah kaum yang bersangkutan. Jika hendak mendirikan, penghulu dari kaum tersebut mengadakan musyawarah terlebih dahulu dengan anak kemenakannya. Setelah dapat kata sepakat dibawa kepada penghulu-penghulu yang ada dalam pesukuannya, seterusnya dibawa pada penghulu-penghulu yang ada dinagarinya.
Untuk mencari perkayuan ke hutan diserayakan orang kampung dan sanak keluarga. Tempat mengambil kayu pada hutan ulayat nagari. Tukang yang mengerjakan rumah tsb berupa bantuan dari tukang-tukang yang ada dalam nagari atau diupahkan berangsur-angsur. Rumah yang dibangun diperuntukkan pada keluarga perempuan, sedangkan untuk laki-laki dibangun rumah pembujangan dan setelah Islam masuk ada surau. Walaupun rumah itu diperuntukkan bagi perempuan namun yang berkuasa adalah penghulu dan yang bertanggungjawab langsung pada rumah gadang tsb adalah Tungganai. Bila rumah gadang itu sudah usang dan perlu perbaikan maka seluruh anggota kaum mengadakan mufakat.
Seandainya rumah gadang itu akan dibuka lantaran tidak mungkin untuk diperbaiki, maka harus setahu orang kampong atau senagari dan terutama penghulu-penghulu yang ada di nagari tsb.
Tidak semua keluarga diperbolehkan mendirikan rumah gadang dan ini harus mempunyai syarat-syarat tertentu. Syaratsyarat itu antara lain kaum yang akan mendirikan rumah gadang itu merupakan kaum asal di kampung tsb yang mempunyai status adat dalam suku dan nagarinya. Walaupun sebuah kaum itu kaya, tetapi dia adalah keluarga pendatang baru yang tidak mempunyai status adat dalam suku dan nagari tersebut tidak dibenarkan mendirikan rumah gadang. Walaupun demikian kemufakatan dari penghulu-penghulu yang ada pada suku dan nagari sangat menentukan apakah sebuah kaum itu dibenarkan mendirikan rumah gadang atau tidak.
Dilihat dari cara membangun, memperbaiki dan membuka rumah gadang adanya unsur kebersamaan dan kegotongroyongan sesama anggota masyarakat tanpa mengharapkan balas jasa. Fungsi sosial sangat diutamakan dari fungsi ekonominya. Walaupun rumah gadang itu milik dan didiami oleh anggota kaum namun pada prinsipnya rumah gadang itu adalah milik nagari karena mendirikan sebuah rumah gadang didasarkan atas ketentuan-ketentuan adat yang berlaku di nagari itu dan setahu penghulu-penghulu untuk mendirikannya atau membukanya.
fungsi rumah gadang
a. sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi rumah gadang juga sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara. Bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.
b.Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang termuda memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika seorang gadis memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. Demikian pula menempatkan perempuan tua dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan fisiknya yang memerlukan untuk turun naik rumah pada malam hari.
c.Sebagai tempat bermufakatan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama.
d. Sebagai tempat melaksanakan upacara, rumah gadang menjadi penting dalam meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di sanalah dilakukan penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat perjamuan penting untuk berbagai keperluan dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka hormati.
e.Sebagai tempat merawat keluarga, rumah gadang berperan pula sebagai rumah sakit setiap laki-laki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya akan sampai akan dibawa ke rumah gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan. Dan rumah itulah ia akan dilepas ke pandam pekuburan bila ia meninggal. Hal ini akan menjadi sangat berfaedah, apabila laki-laki itu mempunyai istri lebih dari seorang, sehingga terhindarlah perseng ketaan antara istri-istrinya.

Sejarah Perkembangan Arsitektur Indonesia

Perkembangan kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah kebangsaan. Secara umum periodisasi sejarah budaya Indonesia dibagi

atas tiga bagian besar yaitu Zaman Hindu-Budha, Zaman Islamisasi dan Zaman Modern, dengan proses oksidentalisasi. Sebenarnya

terdapat satu zaman lagi sebelum zaman Hindu Buddha yaitu Zaman prasejarah akan tetapi pembahasan serta diskusi tentang

zaman ini tidak banyak contoh yang tersisa dalam bidang arsitektur terutama pada masa prasejarah awal.1 Perkembangan

arsitektur mulai dari masa Prasejarah Akhir yang ditandai dengan ditemukannya kubur batu di Pasemah, Gunung Kidul dan

Bondowoso. Kemudian situs-situs megalitikum punden berundak di Leuwilang, Matesih, Pasirangin.

Sebagaimana diketahui bahwa sejarah budaya yang melahirkan peninggalan budaya termasuk arsitektur sejalan dengan periodisasi

tersebut diatas, maka dapat dikategorikan sebagai arsitektur percandian, arsitektur selama peradaban Islam (bisa termasuk

arsitektur lokal atau tradisional, dan pra modern) dan arsitektur modern (termasuk arsitektur kolonial dan pasca kolonial).

Keberadaan arsitektur lokal yang identik dengan bangunan panggung berstruktur kayu telah ada sebelum atau bersamaan dengan

pembangunan candi-candi. Hal ini ditunjukkan dari berbagai keterangan pada relief candi-candi dimana terdapat informasi tentang

arsitektur lokal/domestik atau tradisional atau vernakular nusantara. Akan tetapi jikalau menilik usia dari bangunan vernakular yang ada di Indonesia, tidak ada yang lebih dari 150 tahun.

Pembahasan pada buku ajar ini tentang perkembangan arsitektur Indonesia dapat diurutkan sebagai berikut :

- Arsitektur vernakular

- Arsitektur klasik atau candi

- Arsitektur pada masa perabadan atau kebudayaan Islam

- Arsitektur Kolonial

- Arsitektur Modern (pasca kemerdekaan)



sumber: http://e-course.usu.ac.id/content/teknik2/sejarah/textbook.pdf

Sejarah Arsitek Indonesia

Sejarah Arsitek Indonesia
Indonesia mewarisi tradisi membangun secara tradisional yang turun-temurun lintas generasi mengakomodasi kebutuhan masyarakat sesuai tingkat sosial-budaya yang berlaku dalam kelompoknya. Tradisi itu dengan bijak mampu memanfaatkan potensi alam sekitarnya, sekaligus tunduk pada keterbatasannya. Konteks lingkungan menjadi guru abadi yang senantiasa memberi pelajaran secara kolektif tentang cara membangun yang tepat.
Memasuki era modern (mulai awal abad XIX), kebutuhan baru bermunculan sejalan dengan perubahan jaman. Pabrik, stasiun kereta api, pelabuhan laut, kantor perdagangan, gedung pertunjukan, untuk menyebutkan beberapa contoh saja, menuntut cara membangun yang berbeda. Hingga akhir abad XIX pembangunan di Hindia Belanda sangat didominasi oleh kelompok zeni dari militer dan oleh para insinyur serta arsitek dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada masa itu, kegiatan rancang-bangun oleh aannemer (pemborong) lazim berlaku. Kegiatan merencana dan membangun menjadi satu kesatuan, dilakukan oleh satu pihak yang dipilih oleh pemberi tugas. Praktek ini banyak terjadi terutama pada bangunan rumah tinggal, namun banyak pula terjadi pada bangunan publik. Bangunan didirikan menurut pola dan langgam yang tersedia di buku-buku desain dengan berbagai penyesuaian yang diperlukan menurut kebutuhan dan selera pemberi tugas, dan karakteristik tapak yang ada.
Ketika pembangunan di berbagai lapangan kehidupan meningkat tajam (terutama setelah UU Agraria 1870 berlaku). Sekolah teknik didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga trampil yang dapat mendukung pekerjaan pembangunan yang dilakukan oleh para insinyur untuk bangunan gedung, pekerjaan irigasi dan jalan raya. Tenaga trampil yang baik dapat naik pangkat dari opzichter (pengawas) menjadi arsitek.
Dalam sejarah kita, arsitek pertama Indonesia adalah Aboekasan Atmodirono (1860-1920). Ia lulus Sekolah Teknik Menengah Jurusan Bangunan (Middelbare Technische School) yang berhasil mencapai jenjang opzichter. Setelah naik pangkat, ia dikenal sebagai de eerste inlandse architect (arsitek pribumi pertama) dan bekerja di Departement van Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum). Ia hadir di Kongres I Boedi Oetomo dan masuk dalam daftar calon ketua. Ketika pemerintah Hindia Belanda membentuk Dewan Rakyat (volksraad) di tahun 1918, ia ditunjuk duduk di parlemen sebagai tokoh Boedi Oetomo yang juga mewakili Perhimpunan Pamong Praja Pribumi “Mangoenhardjo”.
Ketika kesempatan sekolah ke luar negeri terbuka bagi kaum bumiputera, Notodiningrat masuk sekolah tinggi teknik di Delft dan lulus sebagai insinyur sipil pertama Indonesia di tahun 1916. Ia juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia, cikal bakal Perhinpunan Indonesia). Insinyur sipil pada masa itu mampu menangani pekerjaan perencanaan dan pengawasan di bidang bangunan gedung, irigasi dan jalan raya. Karirnya dijalani di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum. Setelah masa kemerdekaan, Prof. Ir. Wreksodiningrat (alias Notodiningrat) ikut mendirikan Fakultas Teknik UGM dan menjadi Dekan (1947-1951).
Usai PD I, muncul tokoh nasional yang mengawali karirnya sebagai arsitek, yaitu Abikoesno Tjokrosujoso. Setelah lulus dari Koningin Emma School di Surabaya pada tahun 1917, ia secara otodidak meniti karir di bidang konstruksi. Belakangan ia dapat mengikuti ujian arsitek dan lulus di tahun 1921 (sumber lain mengatakan 1923 atau 1925). Disamping aktif di dunia politik (adik HOS Tjokroaminoto yang kemudian memimpin PSII) ia juga memiliki usaha aannemer dan pernah pula bekerja sebagai asisten bersama Moh. Soesilo (perencana kota Kebayoran Baru) di biro milik Thomas Karsten di Semarang. Setelah Indonesia merdeka, ia ditunjuk menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan RI yang pertama.
Di tahun 1920 Technische Hoogeschool di Bandung mulai beroperasi. Empat orang bumiputera pertama yang lulus dari sekolah itu (1926) adalah Anwari, Ondang, Soekarno dan Soetedjo. Soekarno, Proklamator dan Presiden RI I, menyebut dirinya insinyur-arsitek. Di awal karirnya, ia mendirikan biro insinyur pertama bumiputera bersama Anwari. Belakangan ia juga mendirikan biro insinyur bersama Rooseno. Pekerjaannya meliputi perencanaan dan sekaligus juga membangun rumah tinggal, pertokoan dsb. sebagai arsitek pemborong (aannemer).
Di era kemerdekaan, pekerjaan arsitek masih dilahirkan dari insinyur sipil lulusan TH Bandung (sekarang ITB), disamping para tenaga trampil yang menyebutkan dirinya arsitek (tingkat teratas dari seorang opzichter atau pengawas, antara lain dapat disebutkan nama Silaban dan Soedarsono). Untuk memenuhi kebutuhan sesuai tuntutan jaman, maka baru di tahun 1950 dibentuk jurusan arsitektur agar segera lahir lulusan sarjana arsitektur Indonesia yang khusus menangani bangunan gedung. Pada tahun 1958 jurusan tersebut berhasil meluluskan 16 sarjana arsitektur pertama.
Pembangunan yang pesat di akhir tahun 1950-an telah mendorong kesadaran dari para arsitek dan sarjana arsitektur lulusan pertama untuk membanguna tatanan baru dunia konstruksi di Indonesia. Tiga arsitek senior, yaitu Ars. Moh. Soesilo, Ars. Silaban, dan Ars. Liem Bwan Tjie, bersama 17 sarjana arsitektur angkatan pertama yang dimotori oleh Ir. Soehartono Soesilo (putra Ars. Moh. Soesilo) bersepakat mendirikan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) pada tanggal 17 September 1959.
IAI dibentuk sebagai reaksi terhadap praktek aannemer yang ditengarai menghambat kemajuan di bidang arsitektur. Arsitek sebagai profesi memerlukan posisi yang lebih mulia dan tidak terjebak pada kegiatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kegiatan aannemer (rancang-bangun) dianggap menodai integritas seorang arsitek dalam memberikan layanan keahliannya. IAI dibentuk untuk mendorong status seorang arsitek menjadi “arsitek murni” yang dapat memusatkan perhatiannya pada tahap perencanaan dan tidak tergoda pada sisi bisnis kegiatan membangun yang dilakukan pemborong (kontraktor). Pembentukan IAI mendapat persetujuan dari Presiden Sukarno, sekaligus bersedia menjadi pelindung asosiasi profesi arsitek satu-satunya di Indonesia.
Tidak lama kemudian sejumlah sarjana arsitek lulusan Belanda/Jerman pulang ke tanah air untuk mengabdikan keahliannya untuk nusa dan bangsa, antara lain: Sujudi, Soewondo, Bianpoen dan Han Awal. Dengan gelar Dipl.Ing, mereka bersama-sama lulusan dari ITB telah membuka jalan baru dunia arsitektur di Indonesia melalui karya-karya yang membanggakan.
Seiring dengan pembangunan berbagai fasilitas modern di Indonesia, berbagai sayembara dilangsungkan untuk mendapatkan karya terbaik. Arsitek sebagai seorang ahli bangunan gedung mendapat tempat khusus di dunia konstruksi. Namanya sebagai individu menjadi jaminan kompetensi dan tanggung jawabnya. Sebagian besar usaha di bidang arsitektur didirikan sebagai sebuah biro atau firma (seperti advokat).
Pada perkembangannya kemudian, pendidikan di sekolah teknik tingkat STM dan sarjana muda berkembang pesat mengikuti kebutuhan yang meningkat, untuk melatih seseorang dapat menjalankan pekerjaan sebagai seorang arsitek. Siapa saja dapat berperan sebagai arsitek dan merencana berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Baru di pertengahan tahun 1970-an, pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan bahwa diperlukan lisensi atau ijin praktek bagi seseorang yang akan menjalankan peran sebagai arsitek penanggung jawab suatu proyek perencanaan banunan gedung. Para lulusan sarjana arsitektur dapat memiliki lisensi A, yang sarjana muda memiliki lisensi B, dan yang lulusan setingkat STM mendapat C. Dalam prosesnya kemudian mereka dapat mengajukan peningkatan kelas (dari C ke B dan dari B ke A). Bagi mereka yang telah mendapatkan lisensi praktek, dianjurkan menjadi anggota asosiasi profesi (baca: IAI). Pembinaan dan peningkatan kualitas keprofesionalannya diserahkan kepada asosiasi profesi melalui berbagai penataran, seminar dan kegiatan lainnya.
Sementara itu, kegiatan usaha praktek arsitek diarahkan menjadi perseroan terbatas, khususnya bagi mereka yang akan mengikuti proses pengadaan jasa di lingkungan pemerintah. Perkembangan ini secara perlahan-lahan mengubah sebutan “arsitek” menjadi “konsultan”. Akhir-akhir ini, telah dikembangkan pula sebutan “penyedia jasa” sebagaimana tercantum di dalam UU Jasa Konstruksi dan UU Bangunan Gedung. Sebutan “arsitek” serta merta menghilang dari tataran hukum dan pada gilirannya juga mengandung arti yang secara langsung mengubah esensi keprofesionalannya.


Sumber: (http://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur, http://esubijono.wordpress.com/2008/09/12/sejarah-arsitek-di-indonesia/)